Perumahan Beji, Lestari Katanya
Jalan
beton yang menukik tajam, dengan polisi tidur yang banyak melintang. Kanan
kirinya terapit bangunan, mobil box dan sepeda motor lalu lalang. Kontras
dengan itu, tepat di titik buntunya, sedikit lebih rendah mendekati sungai,
terdapat Pura Beji yang masih bertahan.
“Ngapain kesana gek, mau cari gamang?” celetuk seorang pemuda yang diikuti gelak
tawa pemuda lainnya. Gerombolan pemuda itu merupakan para supir mobil box milik
sebuah perusahaan lampu LED yang lahan parkirnya terletak hanya berbatasan
tembok dengan Pura Beji. Mereka bersenda gurau di pinggir jalan, melepas lelah.
Tak ingin kalah, anak-anak kecil juga lalu lalang, mengayuh sepeda roda tiganya
berputar-putar di daerah perumahan sementara ibunya sibuk menyapu pekarangan.
Di rumah sebelah, sama riuhnya saat seorang pria datang dengan membunyikan
klakson motor, meminta dibukakan gerbang. Begitulah suasana Perumahan Beji
Lestari pada hari Minggu 5 Maret lalu. Suasana yang khas dalam sebuah kawasan perumahan,
tapi tampak ganjil untuk sebuah kawasan Pura Beji.
Tergelitik rasanya membaca plang
‘Perumahan Beji Lestari’ di Jalan Cekomaria, Desa Adat Peninjoan. Dimana letak
lestarinya kalau sudah menjelma menjadi perumahan? Mata air Pura Beji seakan
gulana, tebe (hutan kecil- red) sudah
diratakan dengan beton lalu tertumpuk bangunan. Titik air yang dibawa mendung
tipis pun terbuang sia-sia ke sungai lewat selokan, tak tersimpan dalam tanah
apalagi mengalir deras keluar lewat mata air. Kalau sudah begini jangan
tanyakan mengapa debit air dari mata air di Pura Beji menurun, karena
jelas-jelas daerah resapan air kini sudah dikoyak pemukiman. Membenarkan hal
itu, Bendesa Adat Peninjoan Nyoman Sweca mengatakan, memang saat dulu sebelum
ada perumahan airnya itu dapat memenuhin pipa yang diameternya seukuran dengan
diameter gelas yang dipegangnya. “Kalau sekarang pancorannya kecil,” ujarnya
sambil mengukur gelas air mineral kemasan dengan jari telunjuknya. “Selain itu mungkin
juga karena sumur bor,” imbuhnya mengira-ngira.
Meskipun sesak oleh kawasan
pemukiman, kepercayaan warga sekitar terhadap Pura Beji ternyata masih kental.
Dari tiga warga, ketiganya menolak untuk diwawancarai, “Aduh, saya takut salah
ngomong gek,” hindar mereka. Sama
halnya dengan celetukan pemuda sebelumnya yang mengaitkan dengan gamang
(hal-hal yang tidak jelas-red) terhadap hal yang berkaitan dengaan Pura Beji.
“Warga di sana masih peduli, saat ada blabar
(banjir –red), warga di sana yang membersihkan kawasan sekitar pancorannya,” tutur
Jero Mangku pengempon pura beji desa adat Peninjoan, Made Kari. “Terkadang ada
yang mengambil air dengan galon, tapi sebelum itu mereka tetap menghaturkan
canang,” jelasnya lagi. “Pokoknya etika masih terjaga” putra dari Made Kari
ikut menambahi. Namun I Gede Anom Ranuara selaku budayawan memberi pandangan
berbeda, “spririt itu perlahan akan berkurang seiring dengan debit air yang
menurun. Psikis kita perlahan akan terpengaruh karena airlah yang utama dari
Pura Beji itu, bukan pelinggihnya saja.”
Krisis air sama saja krisis
identitas bagi Pura Beji. Jangan hanya grasah-grusuh mengatakan lestari, karena
melestarikan kepercayaannya saja akan sia-sia tanpa melestarikan fisiknya.
Komentar
Posting Komentar