Pande Putu Setiawan “Anak-Anak Bali Harus Pintar”
Pande kecil
merupakan sulung dari dua bersaudra yang
lahir di ubud pada 9 Maret 1977 dari seorang ayah –I Made Sadia- yang merupakan
pensiunan kepala puskesmas pembantu di Songan, Kintamani sekaligus peraih
penghargaan Paramedis Teladan Bali tahun 1983 oleh Gubernur Bali kala itu. Darah
sebagai seorang pengabdi sangat kental dalam diri seorang Pande Putu Setiawan,
S.T., M.M. Pendidikan dan karir pande sangat membanggakan. Ia menyelesaikan S1
teknik industri di sekolah tinggi teknologi Telkom bandung lalu melanjutkan
pendidikan S2 pada Magister Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Selain itu ia juga berkesempatan menjalankan pertukran mahasiswa ke
University of Victoria British of Columbia di Canada, sera pernah menjadi
kandidat beasiswa Ph.D in tourism oleh World Tourism Organization di Hong Kong
Polytechnique Institut. Selepas itu ia juga pernah bekerja sebagai Staf Field
Monitor perserikatan bangsa-bangsa (UN-WFP) dalam recovery gempa di Yogyakarta.
Ia juga seorang aktifis kegiatan social Work Camp Indonesia dalam bidang
pendidikan anak-anak. Pande juga berkesempatan pergi ke Vietnam, Laos dalam
rangka penghargaan muda ASEAN bersama pemenang Indonesia Young Entrepreneur
pada Februari 2008. Tak hanya itu Pande juga mendapat tawaran pekerjaan di
sebuah perusahaan besar di Canada, namun ia menolaknya.
Dibalik gemilangnya pendidikan dan karir pande, ia lebih memilih untuk
pulang kembali ke tanah kelahirannya serta membantu anak putus sekolah di
desa-desa pelosok di Bali. “Saya mulai mengunjungi desa blandingan pada saat
itu” ungkapnya. “Saya merasa sudah mendapatkan segalanya yang saya cari dalam
hidup, setidaknya dalam ukuran saya. Saya merasa kurang dalam hidup jika hanya
berhenti disana. Maka saya putuskan untuk mencari jalan memberi dan berbagi itu
mungkin yang bisa membuat hidup saya lengkap” alasan itu yang membuat pande
fokus membantu anak-anak putus sekolah di desa terpencil dalam memperoleh
pendidikan.
Pande mendirikan komunitas anak alam pada 14 Februari 2009 dengan anggota
kurang dari 10 orang, berdirinya komunitas anak alam bertepatan pada pelaunchingan buku
karyanya yang judul Samsara. “Saya membentuk komunitas anak alam untuk
mewujudkan mimpi agar semakin banyak para pemuda yang telibat dalam kegiatan
ini khususnya dalam urusan pendidikan anak-anak pelosok. Saya merasa pintar itu
penting dan bermanfaat. Dengan pintar kita lebih memiliki banyak pilihan dalam
hidup. Anak-anak Bali harus pintar.” Komunitas Anak Alam (KAA) memiliki
kegiatan rutin yang berlangsung setiap akhir pekan. “Kami berkunjung ke sekolah-sekolah
atau desa-desa pelosok, bermain, belajar dan berbagi bersama anak-anak disana.
Karena banyak anggota KAA yang kerja, jadi kami ambil waktu saat weak end”
ungkap Pande sebagai pendiri komunitas anak alam. Pada 14 februari lalu KAA
genap berusia 5 tahun dengan anggota yang kini lebih dari 50 orang. KAA juga
berhasil mengantarkan seorang anak asuhnya yang bernama I Made Kliwon yang
berusia 15 tahun dari desa blandingan hingga berprestasi tingkat internasional
tepatnya pada bidang fotografi pada acara pameran foto di Melburne,Australia
pada tahun 2011. Hampir semua dana yang KAA butuhkan dalam usahanya berasal
dari dana pribadi dan dari gotong royong masyarakat khususnya dalam bentuk
sumbangan buku, alat tulis, seragam sekolah, pakaian layak pakai dan lain
sebagainya.
Namun,
perjalanan pande tidak semulus desiran angin. Dalam pengabdiannya membantu anak
putus sekolah pande terhalang restu orang tuanya. Bahkan orang tuanya
menganggapnya gila. Seorang anak sulung yang beruntung mampu menyelesaikan S2
bahkan sempat mengenyam pendidikan di luar negri lebih memilih untuk bekerja
sebagai pengabdi sosial yang tidak mendapat gaji sepeser pun. “Saya dimusuhi
ibu lebih dari tiga tahun, orang tua tentu merasa tidak terima anaknya yang
sekolah hingga S2 dan beruntung hingga keluar negri tiba-tiba pulang bukan
bekerja kantoran yang menghasilkan finasial tinggi dan dihargai orang tetapi
lebih memilih tinggal di desa dan bergaul dengan anak-anak desa terpencil dan
kadang dengan kondisi sanitasi yang kurang, saya disangka gila karena hidup
dengan jalan berbeda, walau sejujurnya saya sadar dalam mengerjakan itu semua.
Setiap saya pulang ke rumah, saya selalu dicibir. Ibu saya sekali waktu pernah
bilang ‘kamu gila’. Saya mencoba tak terlalu banyak cerita sama orang tua agar
mereka tidak semakin benci dengan saya. Terkadang saya kesal, jadi saya jarang
pulang ke rumah, hanya sesekali, lalu kembali lagi ke desa lagi dan mengunjungi
anak-anak yang lugu-lugu itu.”. bekerja tanpa restu orang tua tentunya tidak
mudah, bahakn pande juga menyadari itu, ia merasa bekerja tanpa restu orang tua
merupakan tantangan terbesar dalam hidupnya. Pande juga pernah berkerja
kantoran seperti yang orang taunya inginkan tanpa harus meninggalkan KAA, namun
menurutnya sulit untuk konsen di dua atau lebih pekerjaan sekaligus, jadi ia
memutuskan kembali ke tujuan awalnya membantu anak putus sekolah.
Dengan
tekanan yang dirasakan pande ia juga pernah merasa ingin mengakhiri
perjalanannya di KAA. “saya pernah merasa suatu ketika, ‘oke, ini hari terakhir
saya dalam kegiatan ini’ waktu itu di Pau, Klungkung dalam kegiatan
perpustakaan keliling tetapi saat saya melihat seorang anak perempuan dari
keluarga miskin sangat bersemangat dalam kegiatan KAA itu saya urungkan niat
saya. Dan saat itu saya berpikir, barangkali saya memang musti meneruskan
kegiatan ini. Hingga hari ini dan mungkin hingga seterusnya.”jelasnya.
Pande
juga berkesempatan menjadi bintang tamu dalam acara Kick Andy
–sebuah program di sebuah stasiun TV swasta- semenjak itu ia dan orang tuanya
berdamai tepatnya pada bulan agustus 2013. “setelah tayang di Kick Andy dan
mendapat pengertian dari pak Andy Flores Noya kami berdamai, dan orang tua
akhirnya mendukung.” Dan pada ajang penyerahan penghargaan Kick Andy Heroes
Award, pande berhasil menjadi salah seorang penerima penghargaan tersebut atas
kerja kerasnya membantu anak putus sekolah di Bali. Bahkan 19 april 2014 lalu
ia meraih penghargaan Ten Outstanding Young Persons Indonesia 2014 oleh Junior
Chamber Indonesia kategori Contribution to
Children and Human Right di Jogjakarta (Pra)
Komentar
Posting Komentar