Menanti Penyelamat Defisit Energi
Manusia perlahan menggelar karpet merahnya sendiri menuju kerusakan bumi. Terbiasa apatis, membuat mereka buta tuli akan pertiwi yang makin mengering, dan nyala lampu rumah sudut kota yang terenggut terancam mati. Bagaimana jika penyejuk ruangan kita ganti dengan pepohonan? Bagaimana jika mobil kita ganti dengan sepeda, atau bisa juga sejenak bergabung dan menyapa sesama dalam bus kota? Mengapa tidak kita buka lebar-lebar jendela, dan mengurangi penggunaan lampu di siang hari? Atau sekedar membaca buku dan mematikan televisi? Setidaknya itu dapat mengulur waktu kerusakan bumi. Atau sekedar menyisihkan sedikit pasokan listrik bagi teman di pelosok pandang dan mewariskan sedikit sisa bahan bakar minyak untuk kerabat di masa mendatang.
Antara
dua sampai tiga tahun mendatang Indonesia terancam mengalami defisit energi.
Mungkin kita hanya dapat menikmati listrik di jam-jam tertentu nantinya. Di
tahun 2018 diperkirakan krisis listrik bukan hanya terjadi di Jawa tetapi di
seluruh negeri. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman
pada bulan April 2014 lalu mengatakan bahwa ancaman krisis listrik karena PLN
tidak mampu menyediakan tambahan listrik setiap tahunnya sebesar 5.000 MW
karena keterbatasan dana. Bahkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
semakin memecut ketakutan dengan mengutarakan kemungkinan bahwa Indonesia bisa
saja mengalami defisit energi lebih cepat yakni pada tahun 2016. Sadar akan
ancaman defisit energi, Presiden Indonesia, Joko Widodo bersama jajaran pemerintah
pusat langsung mengambil langkah pasti dengan memacu kerja Megaproyek 35.000 MW
dengan ekstra cepat, dengan target selesai pada tahun 2019, tepat di tahun
terakhir masa jabatannya. Setidaknya bukan hanya hutang negara saja yang akan
di wariskan di penghujung masa jabatannya. Megaproyek ini mengemban angan besar
masyarakat agar tetap bisa menikmati listrik tanpa takut mengalami defisit,
bahkan sebisa mungkin Indonesia harus mengalami surplus energi. Indonesia butuh
pawang, pahlawan atau pun penyelaman sebagai pasak kuat yang takan terhanyutkan
kemungkinan terjadinya defisit energi listrik.
Isu defisit
energi memang bukan hanya sekedar gertak sambal bahkan Badan Pusat Statistik
(BPS) mengungkapkan ada sebanyak 12.659 desa yang tidak tersalurkan listrik
oleh PLN. Jumlah tersebut merupakan 15,40 persen dari total desa yang ada saat
ini yaitu 82.190 desa. Desa-desa tersebut hanya dapat menikmati cahaya bulan
dan bintang di malam hari tanpa pernah tau bagaimana terangnya nyala lampu LED
ataupun sejuknya pendingin ruangan. Itulah gambaran seberapa besarnya Indonesia
kekurangan pasokan listrik. Kebutuhan akan listrik sangat tinggi, bahkan daerah
Jawa-Bali menanggung beban kelistrikan hampir 24.000 MW.
Pembengkit
listrik konvensional yang masih bertumpu tangan dengan bahan bakar fosil
seharusnya mulai di kesampingkan. Sebuah negara yang maju adalah negara yang
berhenti merusak alam, atau bahkan mengekploitasinya secara besar-besaran.
Itulah mengapa ide besar seorang Nikola Tesla terlahir dan tak boleh di sia-siakan.
Menemukan dan membangun PLTA untuk pertama kalinya, itulah sumabngsih besar
seorang Nikola kepada manusia di masa depan, atau mungkin yang sekarang kita
sebut manusia masa kini. Dikutip dari sebuah artikel yang di tulis oleh Adi
Marwadi, Indonesia mempunyai potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
sebesar 70.000 mega watt (MW). Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen
atau 3.529 MW atau 14,2 persen dari jumlah energi pembangkitan PT
PLN. Sadar akan julukan negara kepulauan dengan wilayah perairan yang
melebihi wilayah daratan seratusnya membuat PLTA memiliki peluang lain yang tak
kalah besar dari Megaproyek 35.000 MW, serta menjadi “penyelamat” lain dari
bencana defisit energi. Dilansir dari energiterbarukkan.net bahkan
Indonesia bagian timur berpotensi besar dan memiliki posisi strategis sebagai
lokasi pembangunan PLTA. Terdapat enam titik yang memiliki potensi itu, yakni
Enam provinsi tersebut diantaranya Papua,meliputi sungai
Memberamo,Derewo,Ballem, Tuuga, Wiriagar/Sun,Kamundan dan Kladuk dengan total
potensi mencapai 12.725 megawatt (MW). Potensi terbesar lainnya yaitu
Kalimantan Timur,meliputi sungai Kerayan, Mentarang, Tugu, Mahakam, Boh,
Sembakung dan Kelai dengan total potensi mencapai 6.743 MW. Sedangkan empat
provinsi lain yang memiliki potensi adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,
Sumut.
Jika membahas tentang siapa yang akan menyelamatkan kita dari defisit energi, jawabannya tentu adalah diri kita sendiri. Megaproyek dan PLTA hanyalah program untuk menambah pasokan listrik dan membantu kita agar dapat lebih lama mengecap listrik. Namun, yang memegang kendali atas segala lalu lintas kelistrikan adalah kita semua sebagai pengguna alat elektronik dan sebagai konsumen listrik. Semakin besar pasokan yang di tambah, tidak serta merta dapat menjamin negara akan mengalami surplus kelistrikan. Namun cara kita menggunakan listriklah yang dapat menentukan jumlah surplus listrik yang Indonesia miliki. Renungkanlah jumlah bahan bakar fosil yang terus di ekploitasi untuk menyalakan pendingin ruangan di rumahmu, atau sekedar mengisi baterai ponselmu yang kamu gunakan untuk membaca gossip terkini di media social, serta TV yang menyala berjam-jam tanpa kamu tonton. Banyak sekali energi listrik yang terbuang sia-sia, selaras dengan itu banyak juga bahan bakar fosil yang tak bisa kita perbaharui menguap tanpa guna. Banyak alat elektronik dengan daya besar memancing terjadinya defisit energi untuk tiba semakin dini, misalnya pendingin ruangan, penanak nasi, pompa air, lemari pendingin, setrika dan mesin cuci. Jika tak di atur penggunaannya secara rinci selain mengundang defiisit energi tapi dapat juga membuat tagihan listrik semakin membengkak. Mulailah berhemat karena seyogyanya, kitalah penentu kapan terjadinya defisit energi.
Jika membahas tentang siapa yang akan menyelamatkan kita dari defisit energi, jawabannya tentu adalah diri kita sendiri. Megaproyek dan PLTA hanyalah program untuk menambah pasokan listrik dan membantu kita agar dapat lebih lama mengecap listrik. Namun, yang memegang kendali atas segala lalu lintas kelistrikan adalah kita semua sebagai pengguna alat elektronik dan sebagai konsumen listrik. Semakin besar pasokan yang di tambah, tidak serta merta dapat menjamin negara akan mengalami surplus kelistrikan. Namun cara kita menggunakan listriklah yang dapat menentukan jumlah surplus listrik yang Indonesia miliki. Renungkanlah jumlah bahan bakar fosil yang terus di ekploitasi untuk menyalakan pendingin ruangan di rumahmu, atau sekedar mengisi baterai ponselmu yang kamu gunakan untuk membaca gossip terkini di media social, serta TV yang menyala berjam-jam tanpa kamu tonton. Banyak sekali energi listrik yang terbuang sia-sia, selaras dengan itu banyak juga bahan bakar fosil yang tak bisa kita perbaharui menguap tanpa guna. Banyak alat elektronik dengan daya besar memancing terjadinya defisit energi untuk tiba semakin dini, misalnya pendingin ruangan, penanak nasi, pompa air, lemari pendingin, setrika dan mesin cuci. Jika tak di atur penggunaannya secara rinci selain mengundang defiisit energi tapi dapat juga membuat tagihan listrik semakin membengkak. Mulailah berhemat karena seyogyanya, kitalah penentu kapan terjadinya defisit energi.
Manusia perlahan menggelar karpet merahnya sendiri menuju kerusakan bumi.
Terbiasa apatis, membuat mereka buta tuli akan pertiwi yang makin mengering,
dan nyala lampu rumah sudut kota yang terenggut terancam mati. Bagaimana jika
penyejuk ruangan kita ganti dengan pepohonan? Bagaimana jika mobil kita ganti
dengan sepeda, atau bisa juga sejenak bergabung dan menyapa sesama dalam bus
kota? Mengapa tidak kita buka lebar-lebar jendela, dan mengurangi penggunaan
lampu di siang hari? Atau sekedar membaca buku dan mematikan televisi?
Setidaknya itu dapat mengulur waktu kerusakan bumi. Atau sekedar menyisihkan
sedikit pasokan listrik bagi teman di pelosok pandang dan mewariskan sedikit
sisa bahan bakar minyak untuk kerabat di masa mendatang.
Antara
dua sampai tiga tahun mendatang Indonesia terancam mengalami defisit energi.
Mungkin kita hanya dapat menikmati listrik di jam-jam tertentu nantinya. Di
tahun 2018 diperkirakan krisis listrik bukan hanya terjadi di Jawa tetapi di
seluruh negeri. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman
pada bulan April 2014 lalu mengatakan bahwa ancaman krisis listrik karena PLN
tidak mampu menyediakan tambahan listrik setiap tahunnya sebesar 5.000 MW
karena keterbatasan dana. Bahkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
semakin memecut ketakutan dengan mengutarakan kemungkinan bahwa Indonesia bisa
saja mengalami defisit energi lebih cepat yakni pada tahun 2016. Sadar akan
ancaman defisit energi, Presiden Indonesia, Joko Widodo bersama jajaran pemerintah
pusat langsung mengambil langkah pasti dengan memacu kerja Megaproyek 35.000 MW
dengan ekstra cepat, dengan target selesai pada tahun 2019, tepat di tahun
terakhir masa jabatannya. Setidaknya bukan hanya hutang negara saja yang akan
di wariskan di penghujung masa jabatannya. Megaproyek ini mengemban angan besar
masyarakat agar tetap bisa menikmati listrik tanpa takut mengalami defisit,
bahkan sebisa mungkin Indonesia harus mengalami surplus energi. Indonesia butuh
pawang, pahlawan atau pun penyelaman sebagai pasak kuat yang takan terhanyutkan
kemungkinan terjadinya defisit energi listrik.
Isu defisit
energi memang bukan hanya sekedar gertak sambal bahkan Badan Pusat Statistik
(BPS) mengungkapkan ada sebanyak 12.659 desa yang tidak tersalurkan listrik
oleh PLN. Jumlah tersebut merupakan 15,40 persen dari total desa yang ada saat
ini yaitu 82.190 desa. Desa-desa tersebut hanya dapat menikmati cahaya bulan
dan bintang di malam hari tanpa pernah tau bagaimana terangnya nyala lampu LED
ataupun sejuknya pendingin ruangan. Itulah gambaran seberapa besarnya Indonesia
kekurangan pasokan listrik. Kebutuhan akan listrik sangat tinggi, bahkan daerah
Jawa-Bali menanggung beban kelistrikan hampir 24.000 MW.
Pembengkit
listrik konvensional yang masih bertumpu tangan dengan bahan bakar fosil
seharusnya mulai di kesampingkan. Sebuah negara yang maju adalah negara yang
berhenti merusak alam, atau bahkan mengekploitasinya secara besar-besaran.
Itulah mengapa ide besar seorang Nikola Tesla terlahir dan tak boleh di sia-siakan.
Menemukan dan membangun PLTA untuk pertama kalinya, itulah sumabngsih besar
seorang Nikola kepada manusia di masa depan, atau mungkin yang sekarang kita
sebut manusia masa kini. Dikutip dari sebuah artikel yang di tulis oleh Adi
Marwadi, Indonesia mempunyai potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
sebesar 70.000 mega watt (MW). Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen
atau 3.529 MW atau 14,2 persen dari jumlah energi pembangkitan PT
PLN. Sadar akan julukan negara kepulauan dengan wilayah perairan yang
melebihi wilayah daratan seratusnya membuat PLTA memiliki peluang lain yang tak
kalah besar dari Megaproyek 35.000 MW, serta menjadi “penyelamat” lain dari
bencana defisit energi. Dilansir dari energiterbarukkan.net bahkan
Indonesia bagian timur berpotensi besar dan memiliki posisi strategis sebagai
lokasi pembangunan PLTA. Terdapat enam titik yang memiliki potensi itu, yakni
Enam provinsi tersebut diantaranya Papua,meliputi sungai
Memberamo,Derewo,Ballem, Tuuga, Wiriagar/Sun,Kamundan dan Kladuk dengan total
potensi mencapai 12.725 megawatt (MW). Potensi terbesar lainnya yaitu
Kalimantan Timur,meliputi sungai Kerayan, Mentarang, Tugu, Mahakam, Boh,
Sembakung dan Kelai dengan total potensi mencapai 6.743 MW. Sedangkan empat
provinsi lain yang memiliki potensi adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,
Sumut.
Jika membahas tentang siapa yang akan menyelamatkan kita dari defisit energi, jawabannya tentu adalah diri kita sendiri. Megaproyek dan PLTA hanyalah program untuk menambah pasokan listrik dan membantu kita agar dapat lebih lama mengecap listrik. Namun, yang memegang kendali atas segala lalu lintas kelistrikan adalah kita semua sebagai pengguna alat elektronik dan sebagai konsumen listrik. Semakin besar pasokan yang di tambah, tidak serta merta dapat menjamin negara akan mengalami surplus kelistrikan. Namun cara kita menggunakan listriklah yang dapat menentukan jumlah surplus listrik yang Indonesia miliki. Renungkanlah jumlah bahan bakar fosil yang terus di ekploitasi untuk menyalakan pendingin ruangan di rumahmu, atau sekedar mengisi baterai ponselmu yang kamu gunakan untuk membaca gossip terkini di media social, serta TV yang menyala berjam-jam tanpa kamu tonton. Banyak sekali energi listrik yang terbuang sia-sia, selaras dengan itu banyak juga bahan bakar fosil yang tak bisa kita perbaharui menguap tanpa guna. Banyak alat elektronik dengan daya besar memancing terjadinya defisit energi untuk tiba semakin dini, misalnya pendingin ruangan, penanak nasi, pompa air, lemari pendingin, setrika dan mesin cuci. Jika tak di atur penggunaannya secara rinci selain mengundang defiisit energi tapi dapat juga membuat tagihan listrik semakin membengkak. Mulailah berhemat karena seyogyanya, kitalah penentu kapan terjadinya defisit energi.
Jika membahas tentang siapa yang akan menyelamatkan kita dari defisit energi, jawabannya tentu adalah diri kita sendiri. Megaproyek dan PLTA hanyalah program untuk menambah pasokan listrik dan membantu kita agar dapat lebih lama mengecap listrik. Namun, yang memegang kendali atas segala lalu lintas kelistrikan adalah kita semua sebagai pengguna alat elektronik dan sebagai konsumen listrik. Semakin besar pasokan yang di tambah, tidak serta merta dapat menjamin negara akan mengalami surplus kelistrikan. Namun cara kita menggunakan listriklah yang dapat menentukan jumlah surplus listrik yang Indonesia miliki. Renungkanlah jumlah bahan bakar fosil yang terus di ekploitasi untuk menyalakan pendingin ruangan di rumahmu, atau sekedar mengisi baterai ponselmu yang kamu gunakan untuk membaca gossip terkini di media social, serta TV yang menyala berjam-jam tanpa kamu tonton. Banyak sekali energi listrik yang terbuang sia-sia, selaras dengan itu banyak juga bahan bakar fosil yang tak bisa kita perbaharui menguap tanpa guna. Banyak alat elektronik dengan daya besar memancing terjadinya defisit energi untuk tiba semakin dini, misalnya pendingin ruangan, penanak nasi, pompa air, lemari pendingin, setrika dan mesin cuci. Jika tak di atur penggunaannya secara rinci selain mengundang defiisit energi tapi dapat juga membuat tagihan listrik semakin membengkak. Mulailah berhemat karena seyogyanya, kitalah penentu kapan terjadinya defisit energi.
Komentar
Posting Komentar