Kurikulum,
guru, dan proses pembelajaran di kelas.
Kurikulum di Indonesia
Tak Henti Untuk Coba-coba
Metode pembelajaran terus bergulir
sepanjang waktu, selalu saja ada pembaruan, namun apakah ia bergulir menuju
sebuah kemajuan? Entahlah. Banyak paradigma menyebutkan belajar dikelas itu
suatu hal yang konvensional, lawas, kaku, baku, dan membosankan, namun faktanya
memang bukan sekedar paradigma. Pagi hari pukul 07.00 siswa sudah berada di
kelas duduk manis menghadap papan tulis putih, mencatat. Hanya mencaat
menghafal dan ujian, menunggu hasil lalu pulang. Mungkin sebagian siswa sendiri
kebingungan untuk apa
mereka belajar ini belajar itu dan bagaimana
mengimplementasikan hal yang mereka pelajari di sekolah dalam kehidupan
sehari-hari. Minat siswa kurang digugah untuk belajar. Sekolah menjadi hal yang
sangat tidak menyenangkan bagi mereka. Mereka butuh dorongan dari pengajar
untuk mengubah polapikir mereka menjadi pembelajar. Tenaga pengajar perlu
memberi inovasi dalam cara mengajar, dan mengundang minat siswa untuk belajar,
bukannya membuat mereka takut lalu terpaksa belajar karena terlalu banyak
komando. Bagaimana mau menjadi yang terbaik kalau minatnya saja tidak di
tumbuhkan. Siswa dituntut untuk menjadi yang terbaik, sehingga muncul
persaingan diantara mereka. Hal ini tentu menjadi acuan yang baik untuk terus
belajar dan mengasah diri. Namun tak bisa di pungkiri kalau ada saja siswa yang
berlaku kurang seperti mencontek karena tingkat kejujuran dan kedisiplinan
peserta didik masih rendah, menariknya beberapa guru membiarkan hal itu
terjadi, entah karena lelah mengingatkan atau bagaimana.
Kurikulum 2013 emang menuntut siswa
untuk aktif, kreatif dan inovatif dalam setiap pemecahan masalah yang mereka
hadapi di sekolah. Namun tentu tidak semua masalah dapat dipecahkan siswa
secara mandiri, guru
terkadang salah kaprah, karena beranggapan dengan kurikulum 2013 guru tidak
perlu menjelaskan materi kepada siswa di kelas, padahal banyak mata pelajaran
yang sulit dimengerti harus tetap memerlukan penjelasan dari guru.
Bahkan
pemerintah terkesan ‘coba-coba’ dalam membentuk system pendidikan. Bentuk rapor
siswa berubah setiap semester mulai dari tulis tangan hingga print digital ,
dari skala 1-100, 1-4 dan predikat huruf A-D, semua sudah pernah mereka gunakan,
entah apa hubungan skala rapor dengan masa depan anak bangsa. Lebih konyolnya
lagi, tidak ada perbedaan antara deskripsi siswa yang satu dengan lainnya yang
guru tulis di rapot, sehingga terkesan “copy-paste”. Tenaga pengajar dalam
proses penilaian sikap, ketrampilan dan pengetahuan secara holistic masih
kuang, mengkin karena terlalubanyaknya siswa yang harus diperhatikan sehingga
metode penilaian ini dilihat terlalu premature untuk di terapkan. Bayangkan
saja jika satu kelas terdiri atas 40 anak dan satu guru mengampu tujuh kelas,
maka bisa dibayangkan berapa laporan narasi yang harus dibuat oleh guru.
Indonesia harus menatap peluang yang
ada di tangan anak bangsa, menyiapkan segalanya matang-matang. Bagaimana mau
meningkatkan sumber daya manusia kalau beberapa komponennya masih belum siap?
Peluang berkecimpung dalam pergerakan dunia semakin terbuka, MEA contohnya.
Bagaimana Indonesia dapat bersaing kalau system pendidikannya saja masih kacau
balau. Negara kita bisa mengadosi atau mengakulturasikan beberapa system
pendidikan di negara-negara maju lalu menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi terlebih dahulu sebelum menerapkannya di sekolah-sekolah. Sepeti halnya
kurikulum 2013 ini beberapa siswa merasa masa depannya dipermainkan atau
dijadikan “kelinci percobaan” akibat penyempurnaan-penyempurnaan dalam
kurikulum ini. Setidaknya sudah 11 kali Indonesia mengganti kurikulumnya.
Pertama dengan Kurikulum 1947
atau disebut Rentjana Pelajaran 1947. Kedua, Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran
Terurai 1952. Ketiga, Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964. Keempat, Kurikulum
1968. Kelima, Kurikulum 1975. Keenam, Kurikulum
1984. Ketujuh, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999.
Kedelapan, Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kesembilan, Kurikulum
2006, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Selanjutnya, Kurikulum 2013.
Dan yang terakhir kurikulum 2015 yang merupakan penyempurnaan kurikulum 2013. Entah
kapan Indonesia akan menemukan kurikulum yang pas bagi anak bangsanya.
Kurikulum pendidikan bukanlah program kerja yang harus berubah seetiap
pergantian kementrian.
Beberapa negara dengan system pendidikan
terbaik di dunia misalnya Finlandia yang dikenal dengan kurikulum yang
fleksibel selain itu juga negara ini dikenal dengan negara yang jarang
mengganti kurikulumnya karena tak ingin coba-coba. Ada juga Norwegia, jika dilihat lebih jauh Norwegia
memiliki sistem pendidikan yang sangat nyaman dan efektif. Pendidikan wajib di
Norway adalah 10 tahun, terdiri dari primary, lower secondary dan upper
secondary. Pejabat pendidikan di tingkat daerah bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa sekolah yang layak dapat diakses oleh anak, kaum muda dan
dewasa di semua kotamadya dan daerah. Kotamadya bertanggunga jawab menjalankan
primary dan lower secondary, sementara upper secondary dikelola oleh tingkat
daerah. Pendidikan umum di Norwegia tidak dikenakan biaya hingga dan termasuk
tingkat upper secondary. Biaya pendidikan tinggi di semua institusi negara
umumnya tidak mahal. Bantuan pinjaman pendidikan negara didirikan pada tahun
1947 dan memberikan pinjaman pada siswa dan bantuan untuk biaya hidup bagi
mereka yang mengikuti program pendidikan tinggi.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus