Laguku Dibungkam
Kalau anda bagian dari pecinta musik indie dengan gaya folk yang sering kali duduk bercengkrama di warung kopi, dengan dua jari mengapit puntung rokok sambil meniup kepulan kabut kopi panas, boleh jadi anda saat ini sedang menanda tangani petisi tolak RUU permusikan, atau bisa juga sedang giat menyebar luaskan flyer ‘Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan’ ke media sosial dengan tagar #tolakruupermusikan. Setelah kemarin para literatur snob yang dibuat geram dengan isu razia buku kiri, kini giliran anda lah yang terancam tak bisa lagi mendengar uniknya lirik eksplisit dari lagu Surti Tejo ala Zamrud, atau lagu Kafir buah pikiran sarkas dari seorang Jason Ranti.
Mungkin para penguasa saat itu sedang terkaget-kaget karena pertama kali mendengar alunan ‘menggelitik’ hasil karya musisi-musisi antimainstream yang lagunya dikenal luas meskipun hanya mengandalkan gerak underground tanpa harus menggandeng label industri besar ataupun promosi di televisi, hingga akhirnya tergesa-gesa mengeluarkan RUU karbitan yang prematur tentang musik, panik karna takut rakyatnya tak siap dengan karya seni ‘gila’ itu atau takut kalau karya-karya seni musik sejenis itu semakin bergerak bebas dan keterlaluan karena tak cocok dengan budaya santun Indonesia, hingga merancang pasal 5 RUU permusikan yang isinya:Dalam melakukan Proses Kreasi, setiap orang dilarang:a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak;c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan;d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama;e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;f. membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/ataug. merendahkan harkat dan martabat manusia
“Katanya negara kita adalah negara demokrasi yang bebas?” rakyat bertanya-tanya kenapa karya seni seperti lagu harus di bakukan dan dibuat kaku. Kenapa tidak diberi label Parental Advisory saja pada konten yang mengandung unsur eksplisit seperti halnya yang dilakukan tayangan televisi?. Pemerintah harusnya sibuk melindungi hak cipta, bukan malah melarang untuk mencipta. Pemerintah harusnya mendukung musisi independent yang bersusah payah menempa musiknya di dapur sendiri bukan memarjinkan mereka dan berpihak pada label industri. Kalaupun nanti akhirnya konten musisi lokal kita dikebiri, bukannya lagu eksplisit luar negri masih bisa dengan mudah dinikmati? Lagu No Limit karya G-Easy yang penuh sorak soray “Fuck with me and get some money, yeah ayy” misalnya? Tenanglah penguasa, mendengar musik dengan unsur lirik erotik tidak langsung mengubah kami pendengarnya menjadi pelacur. Cukup labeli parental advisory atau sejenisnya saja sudah cukup membangun stigma bahwa lagu itu ‘tak sembarangan’ untuk didengar, latih rakyat terbiasa memilah dan memilih, bukan malah di larang-larang, mendikte ala diktator sudah tidak jaman.
Atau mungkin undang-undang ini hasil nego harga dari orang-orang berkepentingan untuk mengisi dompet pribadi dari bagi komisi musisi indie pada label industri?
Komentar
Posting Komentar