Penjor, Masihkah Berjati Diri?
Keinginan
melepas sejenak duniawi, mengenang ning euphoria kemenangan lalu. ketika
galungan masih berjalan syahdu, karena belum termakan ruang dan waktu. Ketika yadnya
masih murni. Ketika tubuh penjor masih terias dengan klasik.
Gadis-gadis berjalan beriringan menuju
penataran pura, sambil sesekali membenahi posisi banten yang di usung di atas
kepala dan merapikan selendang yang dikibakan udara. Begitu rutinitas
masyarakat Hindu Bali, menanding canang dan banten, memasang penjor, mengasapi
urutan sebagai wujud suka cita, karena ini adalah perayaan kemenangan, perayaan
dharma yang menang melawan adharma.
Melintas di
wilayah Kapal, Badung, berjajar penjor-penjor yang berdiri tangkas, menyerupai
naga dengan rahang mengeras, ornamennya pun terkesan mewah. Bahkan tak jarang
dijumpai penjor dengan lilitan lampu hias, menyerupai pohon natal. Akulturasi?
Entahlah. Setiap ornamen dalam penjor memiliki arti tersendiri. Bambu (dan kue) sebagai lambang vibrasi kekuatan Dewa Brahma. Kelapa sebagai
simbol vibrasi Dewa Rudra. Kain Kuning dan Janur sebagai perumpamaan Dewa
Mahadewa. Daun-daunan (plawa) sebagai simbol vibrasi Dewa Sangkara. Pala
bungkah dan pala gantung sebagai simbol Dewa Wisnu.Tebu sebagai simbol Dewa
Sambu. Padi sebagai perlambangan Dewi Sri. Dan kain putih sebagai penggambaran Dewa
Iswara. Jika dalam sebuah penjor terdapat tambahan ornamen lampu hias, perlu di
pertanyakan lampu tersebut merupakan lambang dari Dewa siapa?
Pertengahan tahun 2015 lalu juga
terdapat penjor yang mengundang perhatian di Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Gianyar,Bali dengan kreasi
bertuliskan “Jaen idup di Bali”. Seandinya
kita bisa melakukan perjalanan waktu menuju masa lalu, tentu evolusi penjor
sangat konras terlihat, Begitulah Bali dengan seninya yang selalu berjalan
selaras dengan budaya dan agama, semua berampingan. Mungkin bukan hanya
berdampingan dengan seni, bisa juga berdampingan dengan politik atau sekedar
menjadi media sindiran publik. Inikah tanda bahwa budaya bali itu fleksibel dan
dinamis atau malah tercemar. “Bolehlah, kalau hanya untuk sekedar sindiran,
tapi kalau dihubungkan dengan upacara keagamaan saya kurang setuju. Setiap
komponen punya esensinya tersendiri, kita tidak bisa mengeser-geser esensi yang
sudah ada itu” ujar Galuh Sri Wedari, ia juga mengungkapkan kalau sebelumnya ia
juga sempat melihat penjor dengan kreasi
serupa dengan tulisan “carik sube telah”
yang dipost akun media social Instagram publik
Hal hampir serupa juga dapat di lihat di
akun Instagram @Forbali13 tampak ornamen penjor yang dikreasikan dengan tulisan
ForBALI lengkap dengan lambang tangan mengepal dan nuansa merah putih. Tulisan
itu di apit dalam lekukan-lekukan daun ntal
dan memberi kesan artistik dalam aksen politik. “Itu kreasi yang kreatif, tidak
masalah selama komponen lainnya lengkap. Tapi sedikit aneh saja, kesannya
seperti kita ngaturang masalah
(reklamasi) kepada Tuhan” celoteh Made Arta Putra sedikit mengguyon. Masihkah
penjor kita punya jati diri? (pra)
Komentar
Posting Komentar