Demonstrasi dan Demokrasi
Mungkin Soekarno bukan hanya sekedar
berpuisi, kalau memang sepuluh pemuda saja sudah cukup untuk mengguncang bumi, lalu bagaimana dengan
kini, masihkah demikian?
Pemuda dan
demonstrasi. Mereka yang dulu menyadarkan negri jika reformasi bukan sekedar
mimpi, mereka yang dengan berani berdiri walau bertaruh diri dalam tragedi
Trisakti. Atau mereka yang pasang prisai demi menolak reklamasi terhadap Bali
yang terancam menjadi lahan investasi. Itu adalah bukti jika pemuda dan
demonstrasi bahkan lebih kuat dari senapan ataupun belati.. Seperti sajak yang
diungkapkan Wiji Thukul, seorang aktivis pada rezim orde baru yang hingga kini
keberadaanya tidak di ketahui, “Jika kami bunga, maka engkau adalah tembok itu. Tapi
di tubuh tembok itu, telah kami sebar bii-biji, suatu saat kami akan tumbuh
bersama dengan keyakinan bahwa engkau harus hancur”. Sarat akan kebencian
terhadap tirani demikianlah bagaimana Thukul dan kawanannya menentang
kesewenang-wenangan pemerintah semasa itu.
Kian hari
kian pelik permasalahan negri ini. Segalanya dituntut selesai dengan cepat, tak
peduli jika pemerintah juga manusia yang hanya memiliki dua tangan dan dua
kaki. Terlambat sedikit, pecut demonstrasi jalanan ala aktivis mahasiswa
beraksi. Kumpulan pendesak ini bagaikan indikator ketepatan kebijakan pemerintah. Tapi kini
era telah berganti. Berganti generasi berganti pula tren yang terjadi. Apakah
demonstrasi kini masih menjadi lapangan untuk pemuda bergerak aktif atau hanya
numpang eksis? Disinilah letak perbedaan ikut demontrasi atau ikut-ikutan
demonstrasi.
Secara umum
salah satu sikap manusia adalah cenderung mudah dikendalikan keadaan atau orang
lain. Jika sikap ini sampai terbawa dalam ranah unjuk rasa bukan tidak mungkin
beberapa dari para demonstran sebenarnya tidak mengetahui konteks permasalahan
dan hanya terbawa rasa ingin ikut serta. Sisi inilah yang perlu mendapat
perhatian lebih jangan sampai mereka hanya bersuara tanpa tau arti, jangan
sampai demokrasi menjadi salah tampi. Unjuk
rasa adalah ruang unjuk ideologi bukan sekedar unjuk diri.
Disisi lain
gerakan demo terkadang dicemari ‘invisible hand’
yang menjelma menjadi provokator, atau dapat juga karena didesain oleh aparat
atau pihak-pihak berseberangan lain demi menunjukkan citra buruk mahasiswa?
Entahlah, karena tidak semua demonstrasi fokus pada visi awal. Terlalu
menggebu-gebu mungkin, karena pada kodratnya seorang pemuda dengan usia dininya
mudah terpancing emosi dan dapat saja mengubah aksi damai menjadi penuh anarki.
Lalu jika tujuan awal demonstrasi untuk menyelesaikan masalah malah menimbulkan
masalah, masih layak kah demonstrasi dijadikan ajang demokrasi? (pra)
Komentar
Posting Komentar